Selasa, 24 November 2009

KOK TAK MEMAKAI BATIK

Dalam perjalanan ke tempat kerja dan ke sekolah anakku, anakku bertanya, “Ayah tidak memakai baju PGRI? Tuh banyak guru-guru pakai batik PGRI.”

Saya diam. Sesaat yang terdengar hanya suara knalpot motor butut. Sementara rintik hujan dari semalam tidak juga berhenti dicurahkan dari langit oleh Malaikat Mikail. Tapi saya harus menjawab pertanyaan itu. Jika tidak menjawabnya sekarang, suatu saat pertanyaan itu akan dimunculkan kembali oleh anakku. Anak-anakku terbiasa mengulang pertanyaan untuk memuaskan rasa keingintahuannya.

“Dulu iya, sekarang tidak,” jawabku singkat. Sejenak aku menerawang, melompat ke masa lalu. Diam menerawang itu jawaban yang sesungguhnya, sekalipun anakku tak mengetahuinya. Tapi pasti, anakku memerlukan penjelasan yang lebih rinci, mengapa dulu “iya” dan mengapa sekarang “tidak”. Dulu memang aku seorang guru Pegawai Negeri Sipil (PNS), karenanya otomatis menjadi anggota Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Oleh karena itu, dulu aku punya baju batik PGRI. Sekarang, tidak lagi. Itu hanya menjadi bagian sejarah. Bukan karena ada Undang-Undang Guru dan Dosen yang membebaskan seorang guru memasuki organisasi profesional apapun, tetapi karena aku bukan lagi guru PNS.

Dulu itu adalah 20 tahun lalu. Tahun 1989 saya diangkat sebagai guru PNS golongan II/c. Nomor Induk Pegawainya masih saya ingat, 131849722. Ini tentu saja nomor lama, bukan NIP gaya reformasi yang bisa dengan mudah melihat kapan seorang PNS harus pensiun. Saya juga punya Kartu Pegawai, Kartu Peserta Askes, Kartu Peserta Taspen, dan juga Kartu Anggota PGRI.

Awalnya saya merasa menjadi PNS adalah sebuah kebanggaan, karena mendapat kesempatan untuk berbakti kepada negara tanpa perlu memikirkan urusan dapur karena negara akan menjaminnya hingga saya meninggal. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, kebanggaan itu pupus.

Sungguh tak dapat saya lukiskan, pulang membawa SK pengangkatan PNS dan melapor pada orang tua, tetapi mendapat apresiasi "negatif" dari kakek. "Kakek lebih bangga jika kamu menjadi 'tukang patri' daripada kamu menjadi 'pegawai negeri'!" Itu apresiasi pertama yang kuterima.

"Mengapa, Kek?" protesku ketika itu.

"Tukang patri itu hanya mendapat upah dari yang dikerjakannya."
Saya hendak memprotes alasan kakek, tetapi kakek sudah memasuki kalimat yang berikut, "Tak perlu kau berkomentar, waktulah yang akan menjawabnya. Bukan pendapatmu!"

Meskipun demikian, sikap moderatnya muncul. "Tapi kalau kau sudah memilih pegawai negeri, ya syukurilah. Itu artinya Allaah telah menjaminmu dengan kecukupan rizki melalui pintu pegawai negeri. Tapi ingatlah, cucuku, ingat nasihat kakek ini.

Jika kau sebulan digaji Rp.30.000,00, itu artinya sehari kau digaji Rp.1.000,00. Hari Ahad, ketika kau libur bekerja, kau tetap diberi gaji.
Apa konsekuensinya?
Konsekuensinya adalah, kau harus hadir dan bekerja pada setiap hari kerja.
Bila kau tidak hadir atau tidak bekerja sehari dalam sebulan,
JANGAN kau makan uang Rp.1.000,00 dari gajimu.
HARAM! HARAM HUKUMnya buatmu!
Camkan ini, cucuku."


Kakek telah lama berpulang ke rahmatullaah. Nasihatnya tentang gaji dan nasihat-nasihat lainnya masih terngiang. Itulah hal utama yang memantapkan jalan mengapa saya keluar dari status Pegawai Negeri.

Itulah yang membuat saya tidak lagi memakai baju batik pada hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar