Rabu, 25 November 2009

KEPADA SANG PRODUSER

/1/ PRAKATA

Bagi saya, teater dan film adalah saudara kandung. Tidak persis sama, tetapi memiliki akar tradisi dan prinsip-prinsip yang sama dalam pengelolaannya. Dengan demikian seorang aktris panggung mudah melakukan mutasi menjadi menjadi seorang bintang film. Anak-anak teater dari Gelanggang Remaja Bulungan (Jakarta Selatan) banyak yang mutasi menjadi aktor/aktris film. Begitu halnya dengan seorang sutradara teater, juga dapat dengan mudah mengubah diri menjadi sutradara film. Contoh klasik dan yang sukar untuk dilampaui adalah Arifin C. Noer dan Teguh Karya.

Oleh karena teater dan film adalah saudara kandung, maka terdapat irisan besar dalam membicarakan seluk-beluk teater dan film. Perbedaan prinsipnya terutama terletak pada produk: teater mengejawantah hanya pada panggung teater, tetapi film bisa mengejawantah dalam bentuk media seluloid, cakram VCD/DVD, atau pita VHS. Selebihnya, dalam segi manajemen produksi dan manajemen artistik, memiliki prinsip-prinsip yang serupa.

Dari dua paradigma itu, tidak terlalu keliru jika ketika terjadi perdebatan antara saya (yang memiliki akar pengetahuan pada manajemen artistik panggung) dengan seorang produser televisi (yang karena pengalamannya bersentuhan dengan media audio visual) perlu diperjelas di sini. Saya tidak berpretensi bahwa perdebatan ini merupakan sebuah ikon dari peristiwa budaya kait-mengait antara teater dengan film. Saya menulis karena saya mengalaminya, lebih dari itu, saya membutuhkan katarsis, meminta penjelasan publik yang lebih paham mengenai fokus perdebatan ini agar saya puas.

/2/ INTI PERDEBATAN: PENULIS NASKAH ATAU NASKAH?

Saya adalah salah satu anggota dari suatu tim kreatif yang bekerja untuk broadcast. Pada salah satu kerjasama yang kami lakukan, kami mengikat sebagai anggota tim kreatif sebuah acara entertainment salah satu stasiun televisi. Setiap minggu kami melakukan brain storming untuk menghasilkan sinopsis apa saja yang layak disajikan kepada pemirsa televisi. Dari sinopsis yang disetujui oleh produser televisi, kemudian dibuat naskah oleh penulis yang kami tunjuk. Peristiwa ini sudah berlangsung selama satu tahun. Meski dengan naik turunnya rating dan sharing tayangan, tetapi alhamdulillah, tayangan itu masih ada yang menonton.

Minggu lalu saya tersandung pada sebuah perdebatan serius, ketika saya mengomentari ucapan salah satu produser. Kronologis perbedabatan itu dimulai dari “kewajiban hadir” para penulis naskah.

Pada beberapa waktu yang sebelum terjadi perdebatan, produser meminta penulis naskah “wajib hadir” pada saat naskahnya diangkat ke jenjang shooting, meskipun dia memberi catatan sebagai sebuah “kewajiban moral” belaka. Tujuannya agar bisa memberikan koreksi yang perlu, apabila aktor/aktris tidak dapat mengungkapkan isi naskah sesuai yang dimaui oleh penulis. Untuk tujuan baik ini, para penulis naskah akhirnya memenuhi permintaan produser.

Karena seringnya hadir dalam aktivitas shooting, para penulis akhirnya terperangkap pada idiom-idiom stereotif para aktor/aktris. Beberapa improvisasi aktor/aktris terhadap isi naskah, entah disadari atau tidak, terekam pada kepala penulis, dan akhirnya menjadi teks pada produk naskah yang muncul berikutnya. Singkatnya, penulis akhirnya terkontaminasi oleh idiom-idiom stereotif pada aktor/aktris. Meski dalam hal kreativitas bukanlah hal haram untuk “menangkap inspirasi itu” dari para aktor/aktris, tetapi kekeliruan para penulis kami adalah memproduksinya untuk disajikan pada televisi yang sama, pada tayangan yang sama dan pada aktor/aktris yang sama. Hal ini membuat Sang Produser melontarkan kritik konstruktif pada Tim Kreatif, bahwa kami tidak lagi kreatif.

Dalam hal ini saya mengomentari kritik Sang Produser. Salah satu kalimat yang mengundang perdebatan adalah ketika saya melakukan komentar demikian, “Itulah pentingnya para penulis diisolasi dari aktivitas shooting, supaya mereka tidak terkontaminasi oleh idiom-idiom stereotif para pemain.” Kalimat ini membuat Sang Produser berang, mematahkan komentar saya dengan sejumlah argumen, menuduh saya sebagai orang yang tidak mengerti apa-apa dalam hal pertelevisian, dan memandang saya sebagai orang yang “tidak terlibat” dalam proses kreatif sistem produksi yang Sang Produser pimpin.

Saya akhirnya diam, mengalah, dan menganggap tidak produktif, apalagi mencerahkan. Apalagi saya hanya merupakan bagian kecil dari anggota kreatif, dan tentu saja, seperti yang Sang Produser katakan, saya “bukanlah yang terpenting” dan bahkan saya dianggap “tidak penting”. Apalagi saya harus menyadari, bahwa tim Kreatif tempat saya berhimpun, hanyalah institusi luar yang menjadi bagian subordinasi dari sistem produksi Stasiun Televisi dalam satu ikatan kerjasama. Intinya saya diam dan mengalah karena buat saya hal itu tidak mencerahkan dan mungkin ini dapat dipandang sebagai langkah penyelamatan bagi kami untuk tidak mengalami perbenturan lebih jauh.

Saya pulang lebih awal dari jadwal. Saya meninggalkan teman-teman dan Sang Produser tanpa pamit. Tapi sesampai di luar gedung stasiun TV yang megah itu saya merenung dalam diam: Yang dibutuhkan dalam sistem produksi itu “naskah” atau “penulis naskah”?

/3/ MEMBUKA PENGALAMAN BERTEATER DAN REFERENSI

Pengalaman berteater saya memang tidak sempurna: tidak berguru pada seorang maestro, tidak pernah berhasil hingga menjadi seorang aktor, dan tidak menjadi seorang pekerja panggung yang sungguh-sungguh. Dari yang tidak sempurna itu saya memperoleh pengalaman kreatif, yang salah satunya adalah, Apabila naskah sudah “jadi”, maka penulisnya kita “bunuh”.

Penulis dan naskah memang dua dunia yang berbeda. Penulis adalah orang yang menghayati dunia sedangkan “naskah” adalah dunia ciptaan penulis. Ketika naskah sudah “jadi”, maka “naskah” menjadi sumber kreatif dan sepenuhnya menjadi hak bagi seorang Sutradara (Manajer Artistik) untuk mengejawantahkannya, baik dalam bentuk panggung maupun dalam bentuk film. Penulis naskah bahkan tidak berhak mengoreksi hasil interpretasi Sang Sutradara terhadap naskah yang diinterpretasikan itu.

Begitu otonomnya “naskah” sehingga dalam literatur-literatur teater “naskah” (bukan penulis naskah) merupakan komponen produksi yang sejajar kedudukannya dengan “manajer produksi” (baca: produser) dan “manajer artistik” (baca: sutradara). Di antara miskinnya literatur teater dan film, tulisan populer yang masih dapat ditemui mengenai ini, antara lain dapat ditemukan pada karya N. Riantiarno, Menyentuh Teater, Tanya Jawab Seputar Teater Kita, Program Bimbingan Anak SAMPOERNA, 2003.

Sialnya, semua argumen pengalaman berteater dan referensi teater itu, belakangan, dinaifkan begitu saja oleh salah seorang teman: Tapi ini lain, sobat: ini produksi audio visual, bukan produksi teater!

Ya, mungkin karena awamnya saya dalam sistem produksi audio-visual. Tapi coba bayangkan seandainya sebuah stasiun televisi atau sebuah rumah produksi akan mengangkat novel “Siti Nurbaya” menjadi adegan panggung atau film, niscaya akan kesulitan untuk menghadirkan penulis novel itu. Jika Anda akan mengangkat “Romeo and Juliet”-nya William Shakespeare, atau “Ghost”-nya Hendrik Ibsen, mungkinkah menghadirkan penulis naskah dalam sistem produksi yang akan Anda garap? Lagi-lagi, karena dalam produksi teater, yang harus hadir adalah “naskah”-nya dan sama sekali yang dituntut untuk hadir bukanlah penulis naskah.

Itu pula gunanya, dalam manajemen artitistik, terdapat pekerja yang “mencatat” adegan. Ketika Sutradara memandang perlu untuk “mengubah” pengungkapan yang berbeda dari naskah, “pencatat” inilah yang merekam segala tingkah kreatif Sang Sutradara.

/4/ TUGAS SUTRADARA

Jika Anda bertanya pada pelatih-pelatih teater yang ada pada sanggar-sanggar teater, mengenai apa saja yang menjadi tugas bagi seorang sutradara, maka Anda akan mendapatkan salah satu atau lebih dari kemungkinan jawaban berikut:

a. memilih naskah lakon;

b. memilih pemain dan pekerja artistik;

c. bekerja sama dengan staf artistik dan non-artistik;

d. menafsir naskah lakon dan menginformasikannya kepada seluruh pekerja (artistik dan non-artistik);

e. menafsir karakter peranan dan menginformasikannya kepada seluruh pemain;

f. melatih pemain agar bisa memainkan peranan berdasar tafsir yang sudah dipilih;

g. mempersatukan seluruh kekuatan dari berbagai elemen teater sehingga menjadi sebuah pergelaran yang bagus,menarik dan bermakna.

(N. Riantiarno, Menyentuh Teater, Tanya Jawab Seputar Teater Kita, Program Bimbingan Anak SAMPOERNA, 2003, hal. 127-128).

Paparan yang dikemukakan oleh Riantiarno di atas sudah cukup jelas dan tak perlu penekanan lebih jauh mengenai kehadiran naskah (bukan penulis!) bagi seorang sutradara. Saya kira, tugas yang sama bukan hanya berlaku bagi sutradara teater, tetapi juga bagi seorang sutradara film.

/5/ ANTAKATA

Mungkin semua paparan saya di atas keliru, karena awamnya saya dalam seluk-beluk audio-visual, dan karena tidak sempurnanya saya dalam berteater. Karena itu, catatan yang konstruktif dari para pekerja di bidang audio-visual maupun di bidang panggung, sangat saya harapkan. Karena saya membutuhkan pencerahan.

Radal Jaksel, 13 Agustus 2006

Dipindahkan dari msrasyid.blogspot.com/ "Sekitar perdebatan singkat mengenai Naskah dan Penulis"

MSR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar