Selasa, 24 November 2009

BELUM CUKUPKAH KORBAN?

/1/ PRAKATA

Dalam realita dunia pengaduan/klaim, seseorang yang mengajukan klaim atas sesuatu sering dipingpong oleh oknum yang mengatasnamakan prosedur standard bagi suatu pengajuan klaim. Anehnya, kalaupun prosedur yang dianjurkan sudah diikuti dengan baik dan benar, mungkin saja berujung pada kegagalan menerima kompensasi klaim. Seorang teman saya pernah putus asa dalam mengikuti prosedur klaim pada sebuah hipermarket. Pada saat seperti itu, sebenarnya masih ada jalan yang dapat ditempuh dan terkadang merupakan langkah ampuh dibandingkan dengan mengikuti prosedur standard yang ada. Seorang teman saya yang lain, menyarankan untuk mempublikasikan pengaduan/klaim lewat media, supaya instansi yang terkait tersengat radiasi yang dipancarkan media tersebut dan seketika itu juga instansi akan mengurusi klaim Anda.

Begitulah dunia pengaduan.

Agak mirip dengan dunia pengaduan, dunia kritik menghadapi hal yang sering kali paradoksal. Seseorang, apalagi pemimpin, apabila dikritik secara terbuka, seringkali akan merespon dengan sikap marah-marah. Seringkali kemudian kata hatinya yang jujur (tentu bukan ketika marah-marah itu) mengatakan bahwa sebenarnya dia dapat menerima kritik yang disampaikan oleh bawahannya, tetapi cara menyampaikannya yang terbuka itulah yang tidak disukainya. Singkatnya, dia berargumen bahwa esensi penolakan kritik terletak pada cara penyampaian, bukan pada materi kritik itu sendiri.

Akhirnya, demi kondisi yang lebih baik, Si Bawahan, pada penyampaian pandangan kritik yang berikutnya, menyampaikan dengan cara santun menurut yang diinginkan oleh Sang Pemimpin. Kritik yang diajukan tidak disampaikan secara terbuka, tetapi disampaikan langsung empat mata. Ajaibnya dunia kritik itu sungguh unik, bahwa kemudian dunia kemanusiaan sering memperlihatkan suatu paradoks. Kritik yang disampaikan dengan cara santun itu seringkali tidak didengar oleh Sang Pemimpin, dan diabaikan begitu saja. Apalagi Si Bawahan bukan apa-apa, bukan think tank bagi Sang Pemimpin.

Begitulah dunia kritik, yang nasibnya mungkin tidak lebih baik dibanding dengan dunia pengaduan/klaim.

Oleh karena itu, mungkin lebih baik unek-unek disampaikan lewat blog pribadi saja. Jadi tulisan ini bukanlah suatu kritik, apalagi suatu pengaduan. Tulisan ini hanyalah langkah katarsis bagi saya sebagai pribadi. Tak lebih.

/2/ LARI PAGI PANGKAL SAKIT

Konon, dulu setiap pesta olahraga, para atlet didoakan oleh para para pemujanya, “Orandum mensana in corpore sano.” Mereka mendoakan “Semoga pada tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.” Doa sapujagat bagi para atlet ini konon telah berlangsung selama 26 abad terakhir.

Dari doa itu ada asumsi umum yang mudah kita cermati, bahwa (salah satu) pembentuk jiwa yang sehat adalah “tubuh yang sehat”, dan untuk membentuk “tubuh yang sehat” seseorang harus melakukan olah raga. Banyak olah raga yang dapat membentuk tubuh yang sehat, sekalipun saya sering dengan miris menyaksikan ternyata ada juga olah raga yang “tidak membentuk tubuh menjadi sehat” tetapi malah menjadi sakit. Apalagi ketika olah raga ini tidak lagi menjadi aktivitas, tetapi menjadi profesi. Ketika sebuah cabang olahraga dipertandingkan, dimotivasi dengan hadiah bagi pemenangnya, maka orientasi kesehatan jiwa-raga dan esensi doa atlet itu bisa tidak bermakna apa-apa.

Pertandingan cabang-cabang olah raga keras, kerap tidak membentuk tubuh menjadi sehat, apalagi membentuk jiwa yang sehat. Kemudan, ribuan dan bahkan jutaan pemirsa menyaksikan lewat layar kaca pertandingan cabang olah raga keras ini. Akar-akar kekerasan manusia memang sebagian mengejawantah dalam bentuk aktivitas olah raga.

Sub judul di atas (Lari pagi pangkal sakit) tentu saja tidak berhubungan dengan segala macam seluk-beluk cabang-cabang olah raga. Dari sekilas judulnya saja, orang bisa menduga muatan satire daripada muatan sport. Namun, apapun dugaan orang, yang pasti, lari pagi bukanlah termasuk olah raga keras. Begitu soft-nya olah raga lari pagi, sehingga kalaupun pantas diperlombakan (lari tidak dipertandingkan), lari pagi paling pantas hanya untuk meramaikan peringatan hari-hari besar saja.

Lebih dari semuanya, subjudul “Lari pagi pangkal sakit” pada tulisan ini, hanya berkenaan dengan kasus pada sekolah saya saja. Tak lebih.

/3/ JUMAT PAGI, LARI PAGI

Jumat sebagai hari krida sudah lama diberlakukan di negeri ini. Apalagi pada institusi tempat sumber daya manusia dinomorsatukan, seperti pada lembaga pendidikan. Bentuknya bisa bermacam-macam, tergantung dari “menu institusi” itu. Ada yang mengisi menu krida itu dengan bersih-bersih, dengan senam kesehatan, dengan aneka lomba dan pertandingan, dan sebagainya.

Pada sekolah kami, ada juga menu untuk hari krida itu. Bentuknya adalah lari pagi yang dilakukan pada (setiap) Jumat pagi, dan diberlakukan bagi semua siswa dan guru sebagai sebuah kewajiban. Pelaksanaan lari pagi dimulai pada jam 05.30 WIB. Setelah pemanasan sebentar, kemudian siswa dan guru lari pagi sekitar 4-5 km. Sesudah lari pagi, diharapkan badan menjadi segar, stamina menjadi kuat, otak menjadi refresh. Doa yang pantas dialamatkan kepada para atlet, lebih pas untuk para siswa dan guru yang melakukan lari pagi pada setiap Jumat pagi seperti di sekolah kami ini.

Mungkin kegiatan ini merupakan refreshing dari aktivitas rutin mingguan. Tetapi tidak ayal lagi, bahwa kegiatan ini menjadi siklus mingguan, sehingga fungsinya sebagai aktivitas refreshing menjadi menurun. Sebaliknya, aktivitas krida Jumat pagi di sekolah ini tidak pernah diarahkan menuju olahraga prestasi, padahal frekuensi pelaksanaannya yang rutin sepanjang tahun sangat berpotensi untuk mengarahkan krida Jumat pagi ini menjadi pengembangan cabang-cabang olah raga prestasi.

Tapi sudahlah, kita tidak perlu mempercakapkan fungsi dari krida Jumat pagi. Toh, selama ini tidak ada siswa yang mengeluh. Kalaupun ada yang mengeluh, paling-paling hanyalah pihak orang tua siswa, tetapi itu pun hanya terjadi pada beberapa periode pertama pelaksanaan lari pagi. Selebihnya hal ini telah mengubah kekagetan orang tua menjadi kebiasaan. Bahkan, boleh jadi pada orang tua yang ngotot mengkritik pelaksanaan lari pagi, disodori pilihan: Ini Labsky yang include dengan lari pagi pada Jumat pagi. Jika Anda tidak menyetujui, pilih sekolah lain saja! Atau dengan bahasa yang lebih halus, disodori kalimat yang lebih filsafati, “Sebelum masuk ke sebuah institusi, Anda BEBAS memilih. Tetapi begitu memilih dan memasuki sebuah institusi, Anda TERIKAT pada aturan-aturan yang ada pada institusi pilihan Anda itu. Jadi mereka yang gagap disodori pilihan: TO BE or NOT TO BE! Yang mereka tidak bisa memilih “or”, dan memang tak disediakan pilihan “abu-abu”.

/4/ MENUNGGU KORBAN BERAPA LAGI DAN SIAPA LAGI?

Untuk memenuhi kewajiban atas guru dan siswa ini, guru dan siswa harus berangkat dari rumah lebih awal dari jam 05.30. Ada beberapa rekan guru yang tak bisa melakukan melakukan sholat subuh di lingkungan rumahnya, karena harus mendahulukan jalan untuk melaksanakan aktivitas profesionalnya. Sholat subuh baru dilakukan di sekolah, menjelang jam 05.30. Siswa pun demikian, demi pelaksanaan lari pagi, banyak yang harus sholat subuh di sekolah.

Berangkat dari rumah sebelum jam 05.30 ini sebenarnya penuh resiko. Bagi pengendara sepeda motor, jam-jam ini adalah jam-jam ketika lampu lalu lintas hampir-hampir tidak berfungsi dan para pengguna jalan melintas melebihi batas yang disarankan oleh rambu-rambu. Singkatnya, berkendara pada jam-jam itu sebenarnya beresiko tinggi terhadap terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Lalu, pada Jumat 11 Agustus 2006, ketika saya tak dapat ikut serta lari pagi karena kepala agak sakit dan kemudian kukirim kabar kepada salah seorang pimpinan melalui SMS, di seberang lain, seorang teman saya mengalami musibah. Ini kuketahui ketika saya sampai di sekolah.

Tersentak saya. Segera berkelebat di kepala saya sejumlah nama-nama. Sebelum kecelakaan yang kali ini, (a) ada kecelakaan yang menimpa teman kerjaku, yang mengakibatkan patah pada salah satu ruas jarinya, (b) ada kecelakaan yang menimpa teman kerjaku, yang mengakibatkan gigi-giginya terlepas dari gusinya, dan (c) ada juga kecelakaan yang dialami oleh teman kerja tetapi tidak mengakibatkan cacat permanen. Semua karena aktivitas pagi yang dijadwalkan oleh sekolah. Semua terjadi karena korban begitu komitmen pada ikatan profesionalnya.

Sayang institusi tidak mengevaluasi musibah-musibah ini. Mungkin menunggu tiga korban lagi, supaya korbannya genap tujuh orang, untuk memaksa para pengambil kebijakan meninjau ulang aktivitas-aktivitas yang dilakukan pada pagi hari. Atau, mungkin tidak perlu menunggu genapnya tujuh orang, tetapi menunggu yang mengalami musibah harus salah satu dari orang-orang penting di jajaran Labschool: ketua BPS atau kepala sekolah atau wakil kepala sekolah.

Jika jawabannya “ya”, ini berarti kalian –wahai teman-teman seprofesiku– bukan apa-apa di hadapan institusi ini. Atau kalaupun kalian itu “apa-apa”, maka kalian hanya berarti “apa-apa” dalam kuantitas, karena individu-individu dari kalian tetap dianggap “bukan apa-apa”.

/5/ ANTAKATA

Tapi kecelakaan ya tetap kecelakaan. Ini musibah. Mungkin karena human eror, sehingga seharusnya saya tak perlu menghubung-hubungkan dengan program lari pagi atau program pagi sekolah ini. Tidak relevan. Program pagi dan program lari pagi harus tetap jalan, toh statistik korban akibat lari pagi ini hanya kurang dari 5% (sebuah angka yang dapat diabaikan!). Di antara 49 guru, yang mengalami musibah cuma 1 (satu). Kalaupun ada deretan korban yang diajukan, toh bukan “akibat” lari pagi semuanya.

Tapi kecelakaan ya tetap kecelakaan. Ini musibah. Ini Takdir. Bukankah Anda tidak mungkin dapat mengelak dari TAKDIR yang ditetapkan Tuhan?

Radal Jaksel, 13 Agustus 2006

Dipindahkan dari msrasyid.blogspot.com/ "BELUM CUKUPKAH KORBAN? Catatan asal jadi terhadap pelaksanaan lari pagi di Labsky"

MSR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar