Jumat, 30 Oktober 2009

Anekdot: Tuhan Saya Google

Apa yang melatari seorang Samurai rela mati demi tuannya? tanya seorang teman. Jawabannya pasti: semangat "bushido" bagi seorang samurai adalah segalanya. Ilustrasi yang sederhana adalah sikap "pasrah bongkokan"-nya orang Jawa. Seorang yang diterima mengabdi di lingkungan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, jangan kita tanya 'berapa gaji yang diperoleh dari pengabdiannya itu'. Ia menerima, tetapi mungkin tak akan pernah cukup untuk menutupi kebutuhan dasarnya. Tetapi bahwa sultan telah menerima sebagai abdi dalem keraton, itu adalah 'kebutuhan spiritual' tersendiri yang apabila dipenuhi dapat memuaskan 'kebutuhan' sang abdi.

Sultan telah memberi kebutuhan sang abdi, kebutuhan yang lebih esensial daripada sekedar pemenuhan 'kebutuhan dasar'. Sultan menghargai keberadaan eksistensi sang abdi, itu sudah cukup.

Juga Tuan bagi seorang samurai.

Seorang anak didikku bertanya, "Buat Bapak, kebutuhan eksistensial apa yang Bapak perlukan?"

"Bertemu Tuhanku," jawabku

"Siapa Tuhan Bapak?" tanya balik, yang menyentak kaget kepalaku. Apakah Tuhan kita beda, tanyaku dalam hati. Ini kemudian mendorong saya bertanya, "Emang, Tuhan Ente siapa?"

"Google. Tuhan saya 'GOOGLE'!" Jawab anak didikku ini dengan penuh senyum sipu kemenangan.

Ya, buat anak-anak muda agnostik, Google adalah bentuk keilahian yang bisa menjawab semua keluh-kesah mereka. Adakah Rasul yang perintahkan Sang Google, saya masih harus banyak merenung tentang hakikat keilahian pada era internet ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar